Dampak Pengakuan Keislaman Cheng Ho
Islam tidak akan berkurang derajatnya, meskipun ada peran
orang-orang China di dalamnya. Di sini orang lupa bahwa keislaman China
lebih tua ketimbang Jawa. Orang-orang China telah mengenal Islam di saat
masyarakat Jawa hidup dalam dunia berhala dan klenik. (Soemanto Al Qurtuby dalam Seminar Membincang Kontribusi Tionghoa dalam Proses Islamisasi di Indonesia, 19 Maret 2005).
Majalah sekelas National Geographic dengan tegas menyatakan
Cheng Ho adalah seorang Tionghoa muslim. Tentu saja pernyataan tadi
berangkat dari dukungan data, bukan sekadar legenda.
National Geographic Society memiliki reputasi sebagai
organisasi ilmiah dan nirlaba yang terlibat dalam lebih dari 8.000
eksplorasi dan penelitian sejak 1888. Namun, di Indonesia, keislaman
Cheng Ho masih saja jadi kontroversi, baik di komunitas Tionghoa maupun
Islam. Keislaman Cheng Ho seakan diterima dengan setengah hati.
Lihat saja, tak seorang pun Tionghoa Muslim diajak duduk dalam
Panitia 600 Tahun Cheng Ho. Juga dari sekian banyak acara yang
dirancang, yang bernuansa Islam cuma lomba nasyid dan salah satu
seminar. Sama sekali tidak menonjol dibanding acara-acara tersebut, cuma
sekadarnya saja, semacam tempelan. Yang lebih dahsyat, sepucuk surat
pembaca menceriterakan tentang penggusuran makam-makam tua Tionghoa
muslim (Liem Wa Tiong, Oei Kiem Liang, Ang Tjin Kien, Tan Dinar Nio,
Henry Tan, dan lain-lain).
Semula makam-makam itu ada di bagian belakang Sam Po Kong.
Surat pembaca itu juga mengeluhkan diturunkannya papan kaligrafi ”Me
Zheng Lan Yin” (terjemahan bebasnya: Merenungkan dan mengamalkan ajaran
Al Quran). Papan itu diturunkan setelah kunjungan Imam Besar Masjid
Beijing ke Sam Po Kong. Dalam kunjungan tersebut, sang ulama China
menyatakan bahwa kaligrafi tersebut menegaskan keislaman Cheng Ho.
Dua Kutub
Bagaimana pula dengan masyarakat Islam Indonesia? Sampai saat ini
tidak pernah jelas diakui peran Tionghoa Muslim dalam proses masuknya
Islam ke Nusantara. Sejak dulu yang diajarkan dalam buku-buku sejarah
sekolah adalah teori Arab dan India/Gujarat. Buku yang mengangkat peran
Tionghoa dalam Islamisasi Nusantara bahkan dilarang beredar dengan
alasan potensial mengganggu stabilitas nasional. Akibatnya, jangankan
diakui berperan dalam Islamisasi Nusantara, bahkan kehadiran Tionghoa
Muslim dalam shalat Jumat sampai saat ini pun masih ada yang menganggap
aneh. Islam dan Tionghoa dianggap dua kutub yang berseberangan.
Tentu saja gambaran tadi adalah gambaran hitam-putih. Bersyukurlah
kita masih ada wilayah abu-abu. Lie Pek Tho, Ketua Yayasan Kelenteng
Thay Kak Sie yang juga Ketua Panitia 600 tahun Cheng Ho, dalam sebuah
wawancara tanpa basa-basi mengatakan: “Beliau (Cheng Ho -red) orang Islam. Pengikutnya juga sebagian besar Islam. Maka beliau juga menyebarkan agama Islam”.
Demikian pula di pihak Islam, Habib Luthfi bin Ali Yahya, Ketua MUI
Jawa Tengah, tidak saja menyebut Cheng Ho. Beliau bahkan bisa
menyebutkan nama-nama ulama Tionghoa (banyak di antaranya yang
menggunakan nama muslim) yang dikatakannya mempunyai andil dalam
perkembangan Islam di Nusantara. Karena kekaburan (atau pengaburan)
sejarah, bahkan di antara Tionghoa muslim sendiri nama-nama dan peran
mereka terasa asing.
Mazhab Hanafi
Tionghoa masuk ke Indonesia secara bergelombang. Sebelum Cheng Ho,
sisa-sisa laskar Mongol Kubilai Khan (Dinasti Yuan) yang kalah melawan
Raden Wijaya sudah menetap di wilayah Majapahit (1293). Mereka ikut
mendukung kejayaan Majapahit melalui alih pengetahuan tentang mesiu,
maritim, dan perdagangan.
Dalam buku kumpulan surat kepada putrinya, Indira Gandhi, Glimpses of World History,
Jawaharlal Nehru mengatakan, “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya
menjadikan kemaharajaan Majapahit di Jawa lebih kuat. Ini disebabkan
karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa. Dan agaknya
dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut bagi
Majapahit.” Laskar Mongol direkrut dari berbagai daerah: Hokkian,
Kiangsi dan Hukuang.
Sekitar seratus tahun kemudian, armada Laksamana Cheng Ho yang diutus
oleh Kaisar Yong Le (Dinasti Ming) singgah di berbagai tempat di
Nusantara. Di kota-kota pantai ini Cheng Ho membentuk komunitas Islam
pertama di Nusantara, antara lain Palembang, Sambas dan Jawa. Artinya,
pada awal abad XV, Tionghoa muslim yang bermazhab Hanafi sudah ada di
Nusantara. Mereka kebanyakan orang Yunnan yang hijrah ke Nusantara pada
akhir abad XIV, dan sisa-sisa laskar Mongol yang menghuni wilayah
Majapahit.
Sebuah teori mengatakan, akibat perubahan kebijakan luar negeri
Dinasti Ming, hubungan antara pusat Hanafi di Campa dengan Nusantara
akhirnya terputus. Banyak Tionghoa muslim yang berpindah kepercayaan.
Masjid-masjid Tionghoa selanjutnya banyak yang berubah menjadi
kelenteng. Kemudian Sunan Ampel (Bong Swie Ho) mengambil prakarsa
melakukan proses Jawanisasi. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim
di Bangil dan hijrah ke Ampel bersama orang-orang Jawa yang baru
diislamkannya. Dengan kepemimpinannya yang sangat kuat, Bong Swie Ho
membentuk masyarakat Islam Jawa di pesisir utara Jawa dan pulau Madura.
Inilah cikal bakal masyarakat Islam di Jawa.
Kekalahan Sunan Prawoto (Muk Ming) dari Demak dalam perebutan
pengaruh dengan Arya Penangsang dari Jipang berakibat kepada hancurnya
seluruh kota dan keraton Demak. Sisa-sisa pasukan Demak yang melarikan
diri ke Semarang dihancurkan. Demikian pula galangan kapal Semarang dan
banyak orang-orang Tionghoa non Islam di Semarang. Peristiwa ini
menjadikan sebagian besar masyarakat Tionghoa di Semarang marah dan
tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya
masyarakat Tionghoa muslim di Semarang. Mereka akhirnya berangsur-angsur
kembali kepada agama dan kepercayaan Konghucu dan Tao.
Gelombang-gelombang imigran China yang masuk ke Nusantara kemudian
tidak lagi didominasi orang-orang Tionghoa muslim. Mereka datang,
misalnya karena kebutuhan penjajah Belanda untuk menambang timah di
Bangka. Ditambah dengan politik devide et impera penjajah
Belanda, semuanya tadi menimbulkan kesan terbentangnya jarak antara
Islam dan China. Orang-orang Tionghoa makin dianggap asing di Nusantara
lengkap dengan segala stereotype negatifnya. Peran Tionghoa
muslim dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, sebagaimana dibuktikan
dari cerita-cerita rakyat, berbagai dokumen maupun peninggalan sejarah,
termasuk ke dalamnya makam-makam kuno Tionghoa muslim, kemudian menjadi
buram.
Lebih-lebih setelah Orde Baru memerintah dengan kebijakan
pembaurannya yang mendua. Sepanjang berlabel Tionghoa, tempatnya adalah
di sudut-sudut gelap dalam kehidupan bangsa. Tetapi di lain pihak,
beberapa orang Tionghoa yang pengusaha besar dilimpahi dengan berbagai
fasilitas.
Balanced Society
Bersyukurlah kita ketika tiba era reformasi dengan
segala iklim keterbukaannya. Tidak ada lagi suasana represif. Kekuasaan
pemerintah diimbangi dengan peran pengusaha swasta serta kontrol sosial
masyarakat. Tiga unsur yang dibutuhkan dalam konsep masyarakat modern
yang seimbang. Walaupun lagi-lagi harus menjadi tumbal dalam kerusuhan
Mei 1998, masyarakat Tionghoa mengalami imbas akibat iklim keterbukaan
era reformasi. Hak-hak sipilnya dipulihkan, bebas mengekspresikan
adat-istiadatnya kembali.
Dalam suasana demikian, merayakan 600 tahun pelayaran Cheng Ho
menjadi sangat mungkin. Sam Po Kong, petilasan Cheng Ho, dipugar dalam
skala megah. Diselenggarakan berbagai acara selama seminggu. Dan jauh
sebelumnya, lampion merah bertengger di jalan-jalan utama kota Semarang.
Sebuah hal yang mimpi pun tak akan terjadi di era semua yang berlabel
Tionghoa adalah tabu.
Pertanyaannya: sudah memadaikah semuanya itu? Rasanya belum. Nilai
Cheng Ho jauh melewati sekadar petilasannya yang jadi objek wisata, dan
peringatannya masuk dalam kalender wisata. Menyedot tamu dari dalam dan
luar negeri, serta menyedot isi kocek mereka. Bila sekadar demikian,
berarti menghapus peran Cheng Ho, yang telah memicu kota-kota bandar di
Nusantara menjadi metropolis. Juga bermakna mengabaikan sifat dan sikap
yang dimiliknya: entrepreneurship, risk taker, inovatif, leadership, toleran,
universal, loyal kepada atasan, namun sekaligus dalam kebesaran
kekuasaannya mampu mengakui kekerdilannya di hadapan Allah SWT.
Mencintai Allah, dan karenanya menyebarkan imannya kepada semua orang.
Tidak berlebihan bila dikatakan, Cheng Ho adalah manusia yang seimbang
dunia dan akhirat.
Trust
Menerima dan mengakui Cheng Ho seutuhnya bermakna
mengakui keislamannya. mengakui peran para ulama Tionghoa dalam proses
masuknya Islam ke Nusantara. Dan ini akan memberi sumbangan luar biasa
dalam bingkai keindonesiaan yang baru. Menjungkirbalikkan teori Arab dan
lndia/Gujarat tentang proses masuknya Islam ke Nusantara. Mendekatkan
orang Tionghoa dengan saudara-saudaranya sebangsa. Mengurangi
kesenjangan psikologis yang selama ini ada.
Menerima dan menghayati nilai-nilai Cheng Ho seutuhnya akan
menyumbang pemupukan modal sosial masyarakat. Bahkan pengakuan yang
berangkat dari kejujuran dan keterbukaan akan meningkatkan kepercayaan
dunia internasional. Peningkatan trust akan memicu kerja sama, networking, dan kemajuan bagi dunia usaha kita.
Masyarakat yang cenderung trusted akan lebih mudah
mendatangkan modal dan investasi karena pembeli dan investor terlindung
dari dampak kecurangan yang dilakukan pihak lawan. Selain itu,
masyarakat yang trusted mendorong keyakinan dan kepastian berusaha, serta kemudahan merekrut tenaga-tenaga profesional.
Memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho bisa saja sekadar hura-hura
sejenak, dengan gaung hitungan minggu kemudian lenyap. Tetapi bisa juga
menjadi titik balik untuk sesuatu yang jauh lebih strategis. Pilihannya
ada pada kita semua.
Oleh: AM Adhy Trisnanto
Tionghoa Muslim & Praktisi Komunikasi Pemasaran.
Tionghoa Muslim & Praktisi Komunikasi Pemasaran.
Sumber: Fimadani
Tulisan ini diterbitkan oleh Forum Ukhuwah Mahasiswa Muslim Ilmu Pendidikan (Fummi) Universitas Negeri Semarang. Bagi yang berminat untuk menerbitkan tulisan website ini bisa mengirimkan tulisan melalui menu kirim berita atau kirim ke fummiunnes@hotmail.com.
Diterbitkan jam 03.12. Dengan kategori
kisah
.
Sahabat bisa mengikuti website ini dengan memasukkan RSS 2.0 di blog sahabat.